Seri Lanka | Realitas – Pemerintah Sri Lanka meminta warganya yang berada di luar negeri untuk mengirimkan uang ke dalam negeri demi memenuhi kebutuhan bahan pangan dan bahan bakar.
Negara yang gagal membayar utang luar negerinya senilai $51 miliar (Rp732 triliun) di tengah krisis ekonomi terburuk selama lebih dari 70 tahun terakhir.
Gubernur Bank Sentral Sri Lanka, Nandalal Weerasinghe, dikutip dari kantor berita AFP, mengatakan dia memerlukan bantuan para warga di luar negeri untuk “mendukung negara pada masa genting ini dengan menyumbang devisa”.
Seruan itu dia sampaikan sehari setelah pemerintah mengumumkan penangguhan pembayaran seluruh utang luar negeri.
Penundaan pembayaran utang ini akan menghemat anggaran Sri Lanka sebesar $200 juta (Rp2,8 triliun) yang semestinya untuk membayar bunga hutang yang jatuh tempo pada Senin lalu.
Anggaran yang ada akan dialihkan untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar, obat-obatan, serta kebutuhan dasar lainnya yang menipis.
Situasi krisis ini juga telah memicu kemarahan publik yang mendesak agar pemerintahan saat ini mundur.
Menurut Weerasinghe, Bank Sentral telah membuat rekening di AS, Inggris, dan Jerman untuk menampung sumbangan dari para ekspatriat.
Dia berjanji kepada para ekspatriat bahwa uang itu hanya akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak.
“Bank memastikan bahwa transfer mata uang asing tersebut hanya akan digunakan untuk mengimpor kebutuhan pokok termasuk makanan, bahan bakar, dan obat-obatan,” kata Weerasinghe melalui sebuah pernyataan.
Tetapi seruan Weerasinghe itu disambut dengan skeptis oleh para warga Sri Lanka di luar negeri.
“Kami tidak keberatan membantu, tetapi kami tidak bisa mempercayai pemerintah dengan uang kami,” kata seorang dokter Sri Lanka di Australia kepada AFP, yang meminta namanya tidak disebutkan.
Seorang ekspatriat lainnya yang bekerja sebagai ahli perangkat lunak mengatakan bahwa dia tidak yakin uang yang disumbangkan akan dimanfaatkan oleh mereka yang membutuhkan.
“Ini bisa berakhir seperti dana tsunami,” katanya kepada AFP, mengacu pada bantuan jutaan dolar yang diterima Sri Lanka setelah tsunami pada Desember 2004 merenggut nyawa setidaknya 31.000 orang.
Sebagian besar sumbangan dana dari asing yang semestinya untuk para korban tsunami dikabarkan justru berakhir di kantong para politisi, termasuk Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa yang dipaksa mengembalikan dana bantuan yang dikreditkan ke rekening pribadinya. (*)
Sumber bbc