Sri Lanka | Realitas – Pemicu krisis ekonomi Sri Lanka mulai terasa sejak pandemi melumpuhkan sektor pariwisata dan keuangan di negara itu.
Pemerintah memberlakukan larangan impor yang luas demi menghemat cadangan mata uang asing yang terus menipis, dan menggunakannya untuk melunasi utang yang kini gagal dibayar.
Namun hal itu menyebabkan kelangkaan barang-barang yang memicu kekesalan publik. Warga mengantre selama sehari di berbagai titik di puau itu demi mendapatkan bensin dan minyak tanah. Minyak tanah masih digunakan oleh keluarga-keluarga miskin untuk memasak.
Sedikitnya delapan orang tewas saat menunggu antrean BBM sejak bulan lalu.
Para ekonom mengatakan krisis telah diperburuk oleh kesalahan tata kelola pemerintah, akumulasi pinjaman selama bertahun-tahun, serta pemotongan pajak yang keliru.
Masyarakat berupaya menyerbu rumah pejabat pemerintah, lalu aparat keamanan membubarkan mereka menggunakan gas air mata dan peluru karet.
Ribuan orang bahkan berkemah di depan kantor Presiden Gotabaya Rajapaksa di Kolombo selama lima hari berturut-turut dan menyerukan agar dia mundur.
Para pejabat pemerintah menyatakan dampak pandemi dan perang Ukraina membuat Sri Lanka “mustahil” membayar utangnya.
Sri Lanka rencananya akan mulai bernegosiasi dengan Dana Moneter Internasional (IMF) pada pekan depan untuk membahas dana pinjaman demi memulihkan perekonomian mereka.
Kementerian Keuangan Sri Lanka mengatakan mereka memiliki “catatan tanpa cela” dalam hal pembayaran utang sejak negara itu merdeka dari Inggris pada 1948.
“Situasi belakangan ini, bagaimana pun telah mengikis posisi fiskal Sri Lanka sehingga pembayaran utang yang semestinya berjalan menjadi mustahil,” kata Kementerian Keuangan Sri Lanka melalui sebuah pernyataan.
“Meskipun pemerintah telah mengambil langkah-langkah luar biasa untuk tetap membayar semua utang luar negerinya, untuk saat ini jelas bahwa kebijakan itu tidak bisa dipertahankan.”
“Perlu restrukturisasi yang komprehensif terkait kewajiban (pembayaran utang) ini.”
Lakshini Fernando dari Asia Securities menyambut baik langkah pemerintah Sri Lanka, dan menyebutnya “opsi ini lebih baik dibandingkan dengan kegagalan pembayaran yang sulit”.
Dia mencatat bahwa Sri Lanka memiliki $78 juta (Rp1,1 triliun) dalam pembayaran obligasi negara internasional yang jatuh tempo pada pekan depan.
Cadangan devisa Sri Lanka mencapai $1,93 miliar (Rp27,7 triliun) pada akhir Maret. Namun, Sri Lanka harus membayar utang sekitar $4 miliar (Rp57,4 triliun) yang jatuh tempo tahun ini.
Pemicu Sri Lanka baru-baru ini menunjuk gubernur bank sentral baru yang hampir menggandakan suku bunga utamanya demi mengatasi lonjakan harga akibat kelangkaan kebutuhan pokok. (*)
Sumber: bbc